Indie-Mayor:
Sampul Album dan Industri
Budaya
Nada-nada yang minor
Lagu perselingkuhan
Atas nama pasar semuanya begitu klise
Elegi patah hati
Ode pengusir rindu
Atas nama pasar semuanya begitu banal
Lagu cinta melulu.. (Uuuh)
Lagu perselingkuhan
Atas nama pasar semuanya begitu klise
Elegi patah hati
Ode pengusir rindu
Atas nama pasar semuanya begitu banal
Lagu cinta melulu.. (Uuuh)
Begitulah lirik lagu ‘Cinta
Melulu’ yang dipopulerkan oleh grup musik Efek Rumah Kaca, lagu tersebut
mengkritik kondisi dunia musik indonesia terutama musik pop yang didominasi
oleh musik – musik pop melayu yang menawarkan tema tema serupayang mulai mewabah
kembali pada kurun waktu 2007 – sekarang walaupun sudah tak segencar dulu.
Istilah pop merujuk pada kata populer, berasal dari kata “popular”, yang
menyangkut kepada“massa” yang banyak (Kayam, 1981:83). Populer disini memiliki
arti disukai banyak orang, ia bersifat massal, sesaat dan memperhitungkan nilai
komersial.
Musik memang menjadi salah satu produk budaya yang paling
lekat dan tak bisa lepas dari kehidupan sehari – hari, bahkan Nietzsche pun
mengatakan “ life without music would be
a mistake”. Dalam musik
dikenal istilah album musik, album musik ialah suatu kumpulan atau koleksi rekaman
audio atau musik, baik yang berdurasi panjang (LP) maupun mini album (EP). Dalam
album musik biasanya dilengkapi sampul sebagai sebuah kemasan. Menurut kamus
besar bahasa Indonesia, sampul ialah pembungkus (buku, surat, dan sebagainya dari kertas, plastik,
kain, dan sebagainya), sebuah album terdiri dari sampul depan, sampul dalam,
dan sampul belakang. Sebuah sampul album merupakan wajah dan citra visual dari
materi musik yang disajikan dalam suatu album, maka idealnya sebuah sampul
tidak hanya semata-mata burfungsi sebagai pembungkus, ia melengkapi materi
musik pada sebuah album, di sinilah desain memiliki peran yang sangat krusial.
Gambar 1. Desain dan kemasan album
Gambar 1. Desain dan kemasan album
Renjana milik grup musik Zoo
Kita ambil
contoh pada sampul album “Prasasti” milik grup musik indie dari jogja Zoo,
sampul album tersebut terbuat dari batu granit seberat 1,7 kg dan ditempeli
plat logam sebagai judul album, lirik lagu dicetak dengan teknik cetak saring
pada sebuah sobekan kain mirip naskah naskah kuno sesuai dengan tema pada
materi lagu yang menceritakan artefak kebudayaan berupa bahasa dan sebagainya,
aksaranya pun dibuat sendiri dan dinamai zugrafi. Melalui desain sampul
albumnya, Zoo berupaya membangun dan memperkuat citra bahwa album tersebut
merupakan tetenger alias prasasti
atas karya mereka, sebagaimana prasasti pada umumnya ditorehkan pada sebuah
batu dan menggunakan aksara yang khas.
Contoh lain
misalnya pada album “Renjana” milik grup musik Rabu yang dikemas dengan besek
atau kotak anyaman bambu menyerupai kotak sesajen lengkap dengan bunga dan
kemenyan di dalamnya, sehingga citra mistis, angker, dan misterius pada materi
lagunya makin kentara. Kedua contoh di atas menunjukan bahwa desain sampul
album mampu memperkuat pesan-pesan maupun makna dalam musik yang disajikan
musisi, desain menjadi media penting dalam menyampaikan citra sebagaimana
diketahui bahwa proses pengukuhan citra akan lebih mudah apabila dikonstruksi
melalui media, bahkan media merupakan citra itu sendiri menurut pendapat
para pemikir pascamodern.
Dalam
dunia musik dikenal pula istilah indie
dan mayor, hal tersebut dilihat pada
label atau perusahaan rekaman, pengelompokan tersebut mengacu pada besarnya modal dan luasnya jangkauan distribusi label rekaman.
Gambar 3. Contoh desain sampul album musik
mayor label
Gambar 4. Contoh desain album musik indie
Jika
kita amati lebih dalam, terdapat perbedaan gaya visual atau desain pada sampul
album musisi indie dan mayor terutama
pada bagian sampul depan. Lantas apa yang menyebabkan terjadinya perbedaan gaya visual pada desain
sampul album musisi indie dan mayor ?
Untuk menjawabnya mula-mula kita harus memahami terlebih dahulu terminologi
indie dan mayor.
Istilah indie lahir di Inggris, berasal dari
kata “independent” yang berarti mandiri, merdeka, berdaulat,
atau berdikari, karena kebiasan anak
muda Inggris yang suka menyingkat-nyingkat kata maka lahirlah istilah indie ( Jube, 2008:38 ). Pada awal kemunculanya,
indie menjadi semacam pola gerakan
anak-anak muda sebagai pemberontakan subkultur musik terhadap dominasi musik
populer, indie menjadi bentuk counter culture atau budaya tandingan
terhadap hegemoni musik populer dan kapitalisme yang menurut mereka memasung
kreatifitas, hampir mirip dengan gerakan punk. Pola gerakan tersebut menolak
dominasi label musik bermodal besar / label mayor dalam industri, di dalamnya
juga melekat ideologi doit yourself. Seiring
berjalannya waktu, indie tak hanya
dipahami sebagai pola gerakan namun mulai merambah ke ranah kreatif terutama pada aspek musiknya, bahkan indie
dianggap sebagai sebuah genre musik (indie
pop) untuk menggambarkan karakteristik musik pop yang cutting edge, unik, eksperimental, sangat berbeda dan tidak lazim
seperti musik-musik populer kebanyakan.
Sedangkan
mayor seperti namanya, merupakan istilah untuk menyebut produk dan atau musisi
dibawah naungan label mayor atau label bermodal besar, produk yang dihasilkan
pun merupakan musik-musik yang populer di mata khalayak. Musik mayor atau
kadang dibilang musik mainstream secara gamblang menggambarkan apa yang
diungkapkan Adorno mengenai industri budaya dan fetisisme komoditas, di situ
dijelaskan bahwa fetisisme komoditas
merupakan suatu upaya industri untuk mencapai suatu bentuk pemujaan
terhadap suatu produk industri budaya dimana pemujaan tersebut lebih
dialamatkan kepada simbol ataupun merek dari produk tersebut dan bukan kepada
produk budayanya. Sedangkan industri budaya membentuk selera dan kecenderungan
massa hingga mencetak kesadaran atas kebutuhan kebutuhan-kebutuhan palsu (Strinati,
2007: 69).
Dalam
industri budaya didominasi oleh dua proses utama yaitu, standarisasi dan individualisasi
semu. Standarisasi berkaitan dengan originalitas, autentisitas ataupun
rangsangan intelektual, di situ menyatakan tentang adanya kemiripan-kemiripan
pada produk budaya tersebut, Adorno
mencontohkan pada kemiripan antara lagu-lagu pop baik pada nada, tema, rasa dan
lain sebagainya. Sedangkan individualisasi semu
berfungsi menyamarkan proses standarisasi tersebut dan mengaburkan kemiripan-kemiripan
tersebut dengan menambahkan variasi (Storey, 2010: 118). Dampak dari industri
budaya tersebut yaitu, adanya bentuk-bentuk pendangkalan dan konformitas atau
keseragaman.
Pada
akhirnya, musik menjadi komoditi massal
dan sebagai komoditi ia dipaksa mengikuti kriteria layaknya komoditi massal
lainnya, musik sebagai komoditi harus dihomogenisasikan, distandarkan, dan
dikomersialkan atau dikomodifikasikan karena semuanya harus jadi produk budaya
yang akan dikonsumsi massal, musik sebagai ekspresi kontemporer bergeser
menjadi tak lebih dari ajang pemujaan idola (Ibrahim, 2007: 87). Saat sebuah lagu tertentu sukses secara
komersial, maka ia akan dieksploitasi terus hingga sampai ke titik jenuhnya.
Sosiolog Ignes Kleden mengatakan bahwa
budaya pop termasuk musik didalamnya
lebih bersifat reseptif daripada kreatif, dimana produk yang dihasilkan
tak lagi bersumber pada dorongan kreatif si seniman namun lebih condong kepada
kemauan pasar atau publik, semuanya atas nama pasar persis seperti layaknya
lirik lagu cinta melulu karya Efek Rumah Kaca yang saya dikutip di awal.
Mari
kembali ke pertanyaan awal, mengapa terjadi perbedaan gaya visual sampul album
musik indie dan mainstream ? Sebetulnya dengan pemahaman tentang terminologi indie- mayor/mainstream di atas sudah
dapat memberi gambaran jawaban atas pertanyaan tadi. Apa yang terjadi pada
musik maupun pola kerja baik pada indie maupun mainstream pada akhirnya berimbas pula
pada aspek desainnya. Desain terbentuk dari dinamika sosial, dinamika
perkembangan , dinamika budaya, dan dinamika nilai-nilai hingga membentuk suatu
ciri desain (Sachari, 1986: 96).
Pada
sisi musik mayor/mainstream, gaya
desain yang dihasilkan akan selalu dipengaruhi oleh kemauan pasar, dalam sampul album beserta gaya visualnya
menjadi bagian dari apa yang telah disebutkan diatas yakni industri budaya dan
fetisisme komoditas.Gaya visual album musik mainstream secara umum telah mengumbar narsisme, hal
tersebut dapat dilihat dari mayoritas ilustrasi
sampulnya yang menampilkan potret para personel grup musik sebagai point of interest pada desain sampul
tersebut, terutama apabila personelnya memiliki daya tarik visual yang kuat.
Hal
tersebut bisa dimaknai sebagai bentuk fetisisme komoditas, industri berupaya untuk
menciptakan suatu bentuk pemujaan atas simbol atau merek dalam hal ini tampang atau
look para personel, dan
mengesampingkan korelasi desainnya dengan materi musiknya, secara sederhana ia
lebih memetingkan tampilan dibanding kedalaman. Keseragaman tersebut juga
menunjukan proses utama dalam industri budaya yaitu standarisasi dan
individualisme semu, dimana memasang potret personel seolah-olah menjadi suatu
keharusan dalam desain sampul album khususnya pada sampul depan, apalagi bila
band tersebut berstatus sebagai band baru, pengaturan tata letak dan
komposisinya pun memiliki kemiripan, logo biasanya diletakkan di atas atau tengah bersandingan potret personel,
kemiripan lain terletak pada penggunaan warna yang digunakan, cenderung
menggunakan warna-warna cerah dan terang. Agak berbeda apabila musisi yang
bersangkutan terbilang senior dan sudah memiliki popularitas tinggi, biasanya
diberi “sedikit” kebebasan menentukan desain sampul mereka. Keseragaman-keseragaman
tersebut disamarkan sedemikian rupa melaui penambahan variasi-variasi seperti,
pose para personel, background,
memberi efek, permainan warna, dan lain sebagainya, hingga seolah-olah terlihat
berbeda disitulah proses individualisme semu berlangsung.
Hal berbeda
terjadi pada wilayah musik indie, latar belakang sebagai ideologi dan pola
gerakan perlawanan terhadap dominasi musik populer nyatanya telah memberi banyak pengaruh. Pada mulanya, musik indie sebetulnya secara musikalitas sama dengan musik mainstream, seiring berjalannya waktu
musik yang dihasilkan mulai mengalami perubahan dengan memasukan unsur-unsur yang
berbeda dan tidak lazim pada musik populer atau mainstream, hal yang sama
kemudian turut mempengaruhi gaya visual sampul album musiknya. Tidak
berlebihan apabila dikatakan gaya visual
pada sampul musik indie juga
merupakan respon atau wujud perlawanan dan pemberontakan yang menolak tunduk
pada stereotip musik populer atau musik manstream. Ideologi do it yourself yang melekat pada indie mendorong para pelaku memiliki kebebasan lebih untuk mengekspresikan
melalui desain sampul musiknya.
Karakteristik gaya visual pada sampul musik
indie menjadi sangat beragam, mulai dari penggunaan ilustrasi, tata letak, dan
warna, bahkan tiap band seolah-olah memiliki gaya visualnya sendiri-sendiri.
Menariknya, sangat jarang ditemui ilustrasi potret para personel pada sampul
album mereka. Mari kita ulas secara sederhana desain sampul Album “Kamar Gelap”
milik Efek Rumah Kaca (ERK) sebagai contoh, album tersebut menampilkan
sosok kambing yang mulutnya dijepit dengan penjepit baju
dengan latar belakang warna hitam, di bagian bawah sosok kambing terdapat logo
band dan pada pojok kiri bawah merupakan judul album. Elemen yang ada pada
desain tersebut bisa dibilang sedikit, namun
memiliki makna yang cukup dalam. Kamar gelap merupakan tempat yang
penting dalam proses produksi foto, representasi kamar gelap tersebut
diwujudkan melalui pemilihan warna hitam yang mendominasi komposisi desain
sampul tersebut, “foto” di sini jika mengacu pada materi lagunya yang menjadi
titel album (Kamar Gelap) ini dapat diintepretasikan sebagai peristiwa/kejadian
masa lalu yang dituntut untuk diabadikan dan diungkapkan.
Bila
dilihat dari keseluruhan materi lagunya, “foto” di sini dapat pula bermakna
sebagai berbagai isu atau permasalahan yang coba mereka angkat dan ungkapkan
mulai dari isu sosial, politik, lingkungan, hingga kenakalan remaja. Berbagai
isu tersebut disimbolkan melalui sosok
kambing yang mulutnya dibungkam dengan penjepit baju, mulut yang dibungkam
menandakan bahwa isu tersebut seolah olah tidak boleh atau tidak layak
disuarakan, namun mulut kambing tersebut dibungkam dengan penjepit baju yang
notabene bukan alat yang kuat untuk membungkam dan bisa dilepas kapan saja. Melalui
visualisasi desain sampul tersebut ERK menyerukan untuk terus berani
menyuarakan pemikiran kita dan menolak untuk dibungkam dan dibelenggu, kemudian
bila dikaitkan lagi dengan indie
sebagai perlawanan atas dominasi mayor, melalui materi musik dan desain
sampulnya ERK bisa dibilang menolak stereotip musik mayor walaupun tidak
mengatakannya secara lugas.
Terminologi
indie-mainstream memang telah
mengalami perubahan . Banyak musisi maistream
yang hijrah ke jalur indie begitu
pula sebaliknya, sulit membedakan antara indie
yang benar-benar indie dengan indie rasa mainstream ataupun mainstream
rasa indie, mengacu pada apa yang
diungkapkan Jube dalam bukunya revolusi indie
label, parameter indie terletak pada dua hal yaitu movement dalam hal ini pola kerja dan materi musiknya, dan keduanya
harus terpenuhi.Akan tetapi yang harus dipahami saat ini adalah indie bukan semata-mata bentuk
resistensi kultural semata tetapi didalamnya terdapat upaya untuk merebut
pangsa pasar lain yaitu para pemuda yang sibuk dan gelisah dalam pencarian jati
diri. Di satu sisi indie menjadi
resistansi akan hegemoni kapitalisme label mayor, di sisi lainnya ia menjadi
ajang pelarian terhadap sistem sosial politik yang kacau.Indie – mayor tak berbeda
seperti halnya boyband – underground, keduanya sama-sama merebut identitas yang
laku dipasar masing-masing, bedanyaindie
mampu menerjemahkan persaingan yang ketat dan mencari warna lain (Subandy, 2007:
94), faktor pasar atau audience
tersebut pula lah yang turut membentuk ciri khas dan kecenderungan gaya visual
pada sampul album baik indie maupun
mayor.
Musik
dan desain merupakan suatu produk budaya yang fleksibel dan dinamis, apa yang
terjadi hari ini mungkin akan berubah dikemudian hari mengikuti dinamika sosial
budaya dan nilai-nilai yang berkembang pada masyarakat , namun yang pasti peran
sampul album sebagai wajah atau citra pada sebuah album tidak akan berubah dan
desain akan selalu berperan penting di dalamnya. Oleh karena itu sampul album
yang baik tak hanya memanjakan mata namun juga dapat memberi ruang untuk
berpikir kritis, dan sebagai bagian dari musik sudah sepatutnya sebuah
sampul dibuat menurut dorongan kreatif
si pembuat album dan paradigma pasar sentris sudah saatnya ditanggalkan,
seperti kata Efek Rumah Kaca pada sebuah lagunya
kami mau yang
lebih indah
bukan hanya remah-remah sepah, sudahlah
kami hanya akan mencipta
segala apa yang kami cinta, bahagia
bukan hanya remah-remah sepah, sudahlah
kami hanya akan mencipta
segala apa yang kami cinta, bahagia
kami bawa yang
membara
di dasar jiwa, di dasar jiwa
di dasar jiwa, di dasar jiwa
tak ada musim
pada belantara sendiri
membangun kota dan peradaban sendiri
membangun kota dan peradaban sendiri
kami ingin lebih
bergizi
bukan hanya yang mal nutrisi,substansi
bukan hanya yang mal nutrisi,substansi
(Pasar bisa diciptakan – Efek Rumah kaca)
--------
Daftar
putaka
Agus,
Sachari. 1986. Desain: Gaya dan Realitas,
Sebuah Penafsiran tentang Desain Grafis, Produk, Interior, Tekstil, dan
Arsitektur di Indonesia . Jakarta : Rajawali
Ibrahim,
Idi Subandy. 2007. Budaya Populer Sebagai
Komunikasi : Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer .
Yogyakarta: Jalasutra.
Jube.
2008. Underground Indonesia: Revolusi
Indie Label. Yogyakarta: Harmoni.
Storey,
John. 2010. Cultural Studies dan Kajian
Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.
Strinati,
Dominic. 2007. Pop Culture: Pengantar
Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta:Jejak
Umar,
Kayam. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta:
Pt. Djaya Pirusa