Senin, 05 November 2018

Indie-Mayor:
Sampul Album dan Industri Budaya


Nada-nada yang minor
Lagu perselingkuhan
Atas nama pasar semuanya begitu klise
Elegi patah hati
Ode pengusir rindu
Atas nama pasar semuanya begitu banal
Lagu cinta melulu.. (Uuuh)

Begitulah lirik lagu ‘Cinta Melulu’ yang dipopulerkan oleh grup musik Efek Rumah Kaca, lagu tersebut mengkritik kondisi dunia musik indonesia terutama musik pop yang didominasi oleh musik – musik pop melayu yang menawarkan tema tema serupayang mulai mewabah kembali pada kurun waktu 2007 – sekarang walaupun sudah tak segencar dulu. Istilah pop merujuk pada kata populer, berasal dari kata “popular”, yang menyangkut kepada“massa” yang banyak (Kayam, 1981:83). Populer disini memiliki arti disukai banyak orang, ia bersifat massal, sesaat dan memperhitungkan nilai komersial.
Musik memang menjadi salah satu produk budaya yang paling lekat dan tak bisa lepas dari kehidupan sehari – hari, bahkan Nietzsche pun mengatakan “ life without music would be a mistake”. Dalam musik dikenal istilah album musik, album musik ialah suatu kumpulan atau koleksi rekaman audio atau musik, baik yang berdurasi panjang (LP) maupun mini album (EP). Dalam album musik biasanya dilengkapi sampul sebagai sebuah kemasan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, sampul ialah pembungkus (buku, surat, dan sebagainya dari kertas, plastik, kain, dan sebagainya), sebuah album terdiri dari sampul depan, sampul dalam, dan sampul belakang. Sebuah sampul album merupakan wajah dan citra visual dari materi musik yang disajikan dalam suatu album, maka idealnya sebuah sampul tidak hanya semata-mata burfungsi sebagai pembungkus, ia melengkapi materi musik pada sebuah album, di sinilah desain memiliki peran yang sangat krusial.
                 Gambar 1. Desain dan kemasan album         
             Renjana milik grup musik rabu 
                                                  
              Gambar 1. Desain dan kemasan album         
         Renjana milik grup musik Zoo

Kita ambil contoh pada sampul album “Prasasti” milik grup musik indie dari jogja Zoo, sampul album tersebut terbuat dari batu granit seberat 1,7 kg dan ditempeli plat logam sebagai judul album, lirik lagu dicetak dengan teknik cetak saring pada sebuah sobekan kain mirip naskah naskah kuno sesuai dengan tema pada materi lagu yang menceritakan artefak kebudayaan berupa bahasa dan sebagainya, aksaranya pun dibuat sendiri dan dinamai zugrafi. Melalui desain sampul albumnya, Zoo berupaya membangun dan memperkuat citra bahwa album tersebut merupakan tetenger alias prasasti atas karya mereka, sebagaimana prasasti pada umumnya ditorehkan pada sebuah batu dan menggunakan aksara yang khas.
Contoh lain misalnya pada album “Renjana” milik grup musik Rabu yang dikemas dengan besek atau kotak anyaman bambu menyerupai kotak sesajen lengkap dengan bunga dan kemenyan di dalamnya, sehingga citra mistis, angker, dan misterius pada materi lagunya makin kentara. Kedua contoh di atas menunjukan bahwa desain sampul album mampu memperkuat pesan-pesan maupun makna dalam musik yang disajikan musisi, desain menjadi media penting dalam menyampaikan citra sebagaimana diketahui bahwa proses pengukuhan citra akan lebih mudah apabila dikonstruksi melalui media, bahkan media merupakan citra itu sendiri menurut pendapat para  pemikir pascamodern.
Dalam dunia musik dikenal pula istilah indie dan  mayor, hal tersebut dilihat pada label atau perusahaan rekaman, pengelompokan tersebut  mengacu pada  besarnya modal dan luasnya jangkauan  distribusi label rekaman.

Gambar 3. Contoh desain sampul album musik mayor label

Gambar 4. Contoh desain album musik indie
Jika kita amati lebih dalam, terdapat perbedaan gaya visual atau desain pada sampul album musisi indie dan mayor terutama pada bagian sampul depan. Lantas apa yang menyebabkan  terjadinya perbedaan gaya visual pada desain sampul album musisi indie dan mayor ? Untuk menjawabnya mula-mula kita harus memahami terlebih dahulu terminologi indie dan mayor.
Istilah indie lahir di Inggris, berasal dari kata “independent”  yang berarti mandiri, merdeka, berdaulat, atau berdikari,  karena kebiasan anak muda Inggris yang suka menyingkat-nyingkat kata maka lahirlah istilah indie ( Jube, 2008:38 ). Pada awal kemunculanya, indie menjadi semacam pola gerakan anak-anak muda sebagai pemberontakan subkultur musik terhadap dominasi musik populer, indie menjadi bentuk counter culture atau budaya tandingan terhadap hegemoni musik populer dan kapitalisme yang menurut mereka memasung kreatifitas, hampir mirip dengan gerakan punk. Pola gerakan tersebut menolak dominasi label musik bermodal besar / label mayor dalam industri, di dalamnya juga melekat ideologi doit yourself. Seiring berjalannya waktu, indie tak hanya dipahami sebagai pola gerakan namun mulai merambah ke ranah kreatif  terutama pada aspek musiknya, bahkan indie dianggap sebagai sebuah genre musik (indie pop) untuk menggambarkan karakteristik musik pop yang cutting edge, unik, eksperimental, sangat berbeda dan tidak lazim seperti musik-musik populer kebanyakan.
Sedangkan mayor seperti namanya, merupakan istilah untuk menyebut produk dan atau musisi dibawah naungan label mayor atau label bermodal besar, produk yang dihasilkan pun merupakan musik-musik yang populer di mata khalayak. Musik mayor atau kadang dibilang musik mainstream  secara gamblang menggambarkan apa yang diungkapkan Adorno mengenai industri budaya dan fetisisme komoditas, di situ dijelaskan bahwa fetisisme komoditas  merupakan suatu upaya industri untuk mencapai suatu bentuk pemujaan terhadap suatu produk industri budaya dimana pemujaan tersebut lebih dialamatkan kepada simbol ataupun merek dari produk tersebut dan bukan kepada produk budayanya. Sedangkan industri budaya membentuk selera dan kecenderungan massa hingga mencetak kesadaran atas kebutuhan kebutuhan-kebutuhan palsu (Strinati, 2007: 69).
Dalam industri budaya didominasi oleh dua proses utama yaitu, standarisasi dan individualisasi semu. Standarisasi berkaitan dengan originalitas, autentisitas ataupun rangsangan intelektual, di situ menyatakan tentang adanya kemiripan-kemiripan pada produk  budaya tersebut, Adorno mencontohkan pada kemiripan antara lagu-lagu pop baik pada nada, tema, rasa dan lain sebagainya. Sedangkan individualisasi semu  berfungsi menyamarkan proses standarisasi  tersebut dan mengaburkan kemiripan-kemiripan tersebut dengan menambahkan variasi (Storey, 2010: 118). Dampak dari industri budaya tersebut yaitu, adanya bentuk-bentuk pendangkalan dan konformitas atau keseragaman.
Pada akhirnya, musik  menjadi komoditi massal dan sebagai komoditi ia dipaksa mengikuti kriteria layaknya komoditi massal lainnya, musik sebagai komoditi harus dihomogenisasikan, distandarkan, dan dikomersialkan atau dikomodifikasikan karena semuanya harus jadi produk budaya yang akan dikonsumsi massal, musik sebagai ekspresi kontemporer bergeser menjadi tak lebih dari ajang pemujaan idola (Ibrahim, 2007:  87). Saat sebuah lagu tertentu sukses secara komersial, maka ia akan dieksploitasi terus hingga sampai ke titik jenuhnya. Sosiolog Ignes Kleden  mengatakan bahwa budaya pop termasuk musik didalamnya  lebih bersifat reseptif daripada kreatif, dimana produk yang dihasilkan tak lagi bersumber pada dorongan kreatif si seniman namun lebih condong kepada kemauan pasar atau publik, semuanya atas nama pasar persis seperti layaknya lirik lagu cinta melulu karya Efek Rumah Kaca yang saya dikutip di awal.
Mari kembali ke pertanyaan awal, mengapa terjadi perbedaan gaya visual sampul album musik indie dan mainstream ? Sebetulnya dengan pemahaman tentang terminologi indie- mayor/mainstream di atas sudah dapat memberi gambaran jawaban atas pertanyaan tadi. Apa yang terjadi pada musik  maupun pola kerja baik pada indie  maupun  mainstream pada akhirnya berimbas pula pada aspek desainnya. Desain terbentuk dari dinamika sosial, dinamika perkembangan , dinamika budaya, dan dinamika nilai-nilai hingga membentuk suatu ciri desain (Sachari, 1986: 96).
Pada sisi musik mayor/mainstream, gaya desain yang dihasilkan akan selalu dipengaruhi oleh kemauan pasar,  dalam sampul album beserta gaya visualnya menjadi bagian dari apa yang telah disebutkan diatas yakni industri budaya dan fetisisme komoditas.Gaya visual album musik mainstream  secara umum telah mengumbar narsisme, hal tersebut dapat dilihat  dari mayoritas ilustrasi sampulnya yang menampilkan potret para personel grup musik sebagai point of interest pada desain sampul tersebut, terutama apabila personelnya memiliki daya tarik visual yang kuat.
Hal tersebut bisa dimaknai sebagai bentuk fetisisme komoditas, industri berupaya untuk menciptakan suatu bentuk  pemujaan  atas simbol atau merek dalam hal ini tampang atau look para personel, dan mengesampingkan korelasi desainnya dengan materi musiknya, secara sederhana ia lebih memetingkan tampilan dibanding kedalaman. Keseragaman tersebut juga menunjukan proses utama dalam industri budaya yaitu standarisasi dan individualisme semu, dimana memasang potret personel seolah-olah menjadi suatu keharusan dalam desain sampul album khususnya pada sampul depan, apalagi bila band tersebut berstatus sebagai band baru, pengaturan tata letak dan komposisinya pun memiliki kemiripan, logo biasanya diletakkan di atas  atau tengah bersandingan potret personel, kemiripan lain terletak pada penggunaan warna yang digunakan, cenderung menggunakan warna-warna cerah dan terang. Agak berbeda apabila musisi yang bersangkutan terbilang senior dan sudah memiliki popularitas tinggi, biasanya diberi “sedikit” kebebasan menentukan desain sampul mereka. Keseragaman-keseragaman tersebut disamarkan sedemikian rupa melaui penambahan variasi-variasi seperti, pose para personel, background, memberi efek, permainan warna, dan lain sebagainya, hingga seolah-olah terlihat berbeda disitulah proses individualisme semu berlangsung. 
Hal berbeda terjadi pada wilayah musik indie,  latar belakang sebagai ideologi dan pola gerakan perlawanan terhadap dominasi musik populer  nyatanya telah  memberi banyak pengaruh. Pada mulanya, musik indie sebetulnya  secara musikalitas sama dengan musik mainstream, seiring berjalannya waktu musik yang dihasilkan mulai mengalami perubahan dengan memasukan unsur-unsur yang berbeda dan tidak lazim pada musik populer atau mainstream,  hal yang sama kemudian turut mempengaruhi gaya visual sampul album musiknya. Tidak berlebihan  apabila dikatakan gaya visual pada sampul musik indie juga merupakan respon atau wujud perlawanan dan pemberontakan yang menolak tunduk pada stereotip musik populer atau musik manstream. Ideologi do it yourself  yang melekat pada indie  mendorong para pelaku  memiliki kebebasan lebih untuk mengekspresikan melalui desain sampul musiknya.
 Karakteristik gaya visual pada sampul musik indie menjadi sangat beragam, mulai dari penggunaan ilustrasi, tata letak, dan warna, bahkan tiap band seolah-olah memiliki gaya visualnya sendiri-sendiri. Menariknya, sangat jarang ditemui ilustrasi potret para personel pada sampul album mereka. Mari kita ulas secara sederhana desain sampul Album “Kamar Gelap” milik Efek Rumah Kaca (ERK) sebagai contoh, album tersebut menampilkan sosok  kambing  yang mulutnya dijepit dengan penjepit baju dengan latar belakang warna hitam, di bagian bawah sosok kambing terdapat logo band dan pada pojok kiri bawah merupakan judul album. Elemen yang ada pada desain tersebut bisa dibilang sedikit, namun  memiliki makna yang cukup dalam. Kamar gelap merupakan tempat yang penting dalam proses produksi foto, representasi kamar gelap tersebut diwujudkan melalui pemilihan warna hitam yang mendominasi komposisi desain sampul tersebut, “foto” di sini jika mengacu pada materi lagunya yang menjadi titel album (Kamar Gelap) ini dapat diintepretasikan sebagai peristiwa/kejadian masa lalu yang dituntut untuk diabadikan dan diungkapkan. 
Bila dilihat dari keseluruhan materi lagunya, “foto” di sini dapat pula bermakna sebagai berbagai isu atau permasalahan yang coba mereka angkat dan ungkapkan mulai dari isu sosial, politik, lingkungan, hingga kenakalan remaja. Berbagai isu tersebut disimbolkan  melalui sosok kambing yang mulutnya dibungkam dengan penjepit baju, mulut yang dibungkam menandakan bahwa isu tersebut seolah olah tidak boleh atau tidak layak disuarakan, namun mulut kambing tersebut dibungkam dengan penjepit baju yang notabene bukan alat yang kuat untuk membungkam dan bisa dilepas kapan saja. Melalui visualisasi desain sampul tersebut ERK menyerukan untuk terus berani menyuarakan pemikiran kita dan menolak untuk dibungkam dan dibelenggu, kemudian bila dikaitkan lagi dengan indie sebagai perlawanan atas dominasi mayor, melalui materi musik dan desain sampulnya ERK bisa dibilang menolak stereotip musik mayor walaupun tidak mengatakannya secara lugas.
Terminologi indie-mainstream memang telah mengalami perubahan . Banyak musisi maistream yang hijrah ke jalur indie begitu pula sebaliknya, sulit membedakan antara indie yang benar-benar indie dengan indie rasa mainstream ataupun mainstream rasa indie, mengacu pada apa yang diungkapkan Jube dalam bukunya revolusi indie label,  parameter indie terletak pada dua hal yaitu movement dalam hal ini pola kerja dan materi musiknya, dan keduanya harus terpenuhi.Akan tetapi yang harus dipahami saat ini adalah indie bukan semata-mata bentuk resistensi kultural semata tetapi didalamnya terdapat upaya untuk merebut pangsa pasar lain yaitu para pemuda yang sibuk dan gelisah dalam pencarian jati diri. Di satu sisi indie menjadi resistansi akan hegemoni kapitalisme label mayor, di sisi lainnya ia menjadi ajang pelarian terhadap sistem sosial politik yang kacau.Indie – mayor  tak berbeda seperti  halnya boyband – underground, keduanya sama-sama merebut identitas yang laku dipasar masing-masing, bedanyaindie mampu menerjemahkan persaingan yang ketat dan mencari warna lain (Subandy, 2007: 94), faktor pasar atau audience tersebut pula lah yang turut membentuk ciri khas dan kecenderungan gaya visual pada sampul album baik indie maupun mayor.
Musik dan desain merupakan suatu produk budaya yang fleksibel dan dinamis, apa yang terjadi hari ini mungkin akan berubah dikemudian hari mengikuti dinamika sosial budaya dan nilai-nilai yang berkembang pada masyarakat , namun yang pasti peran sampul album sebagai wajah atau citra pada sebuah album tidak akan berubah dan desain akan selalu berperan penting di dalamnya. Oleh karena itu sampul album yang baik tak hanya memanjakan mata namun juga dapat memberi ruang untuk berpikir kritis, dan sebagai bagian dari musik sudah sepatutnya sebuah sampul  dibuat menurut dorongan kreatif si pembuat album dan paradigma pasar sentris sudah saatnya ditanggalkan, seperti kata Efek Rumah Kaca pada sebuah lagunya
kami mau yang lebih indah
bukan hanya remah-remah sepah, sudahlah
kami hanya akan mencipta
segala apa yang kami cinta, bahagia
kami bawa yang membara
di dasar jiwa, di dasar jiwa
tak ada musim pada belantara sendiri
membangun kota dan peradaban sendiri
kami ingin lebih bergizi
bukan hanya yang mal nutrisi,substansi

(Pasar bisa diciptakan – Efek Rumah kaca)
--------
Daftar putaka
Agus, Sachari. 1986. Desain: Gaya dan Realitas, Sebuah Penafsiran tentang Desain Grafis, Produk, Interior, Tekstil, dan Arsitektur di Indonesia . Jakarta : Rajawali

Ibrahim, Idi Subandy. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi : Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer . Yogyakarta: Jalasutra.

Jube. 2008. Underground Indonesia: Revolusi Indie Label. Yogyakarta: Harmoni.

Storey, John. 2010. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.

Strinati, Dominic. 2007. Pop Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta:Jejak 

Umar, Kayam. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Pt. Djaya Pirusa